Pilkada DKI baru
akan digelar tahun depan tapi suhu politik sudah mulai menghangat, masyarakat
juga terlihat cukup antusias, terbukti pembicaraan tentang pilkada DKI cukup
ramai di sekitar kita dan juga di media sosial
dan televisi, bahkan sebagian kalangan sudah "mempromosikan"
bakal calon yang menjadi jagoannya masing-masing dan memulai
"perdebatan". Tak hanya itu masyarakat di luar jakarta juga ikut
menghangatkan suasana dengan berbagai komentarnya di media sosial.
Ramainya
pemberitaan mengenai pilkada DKI menggugah saya untuk memperhatikan fenomena
ini, oleh karena itu melalui tulisan ini saya ingin berbagi informasi dan
pendapat seputar pilkada DKI, walaupun saya bukan warga DKI tetapi posisi DKI
sebagai ibu kota negara memang selalu jadi perhatian saya. Berikut beberapa
pandangan saya seputar pilkada DKI, mudah-mudahan bermanfaat khususnya bagi
teman-teman yang menjadi warga ibu kota.
Pilkada DKI Banyak
Peminat
Banyaknya tokoh
yang berminat menjadi bakal calon (balon) gubernur DKI kali ini menunjukkan
bahwa posisi gubernur DKI memang sangat diminati bukan hanya oleh para politisi
tapi juga mantan pejabat, pengusaha bahkan artis pun ikut meramaikan bursa
bakal calon gubernur DKI, sepertinya para tokoh tersebut melihat peluang untuk
memenangkan pilkada kali ini cukup besar mengingat beberapa kelompok masyarakat
telah menunjukkan ketidakpuasannya terhadap sang petahana (pak ahok) atau bisa
jadi jabatan gubernur DKI dinilai sebagai jabatan favorit bukan hanya karena
gengsinya semata tapi juga karena posisi strategisnya yang bisa digunakan
sebagai batu loncatan menuju ke kursi RI 1/RI 2, atau tidak menutup kemungkinan ada motif
menaikkan/mempertahankan popularitas dengan maju sebagai balon gubernur DKI,
karena tidak bisa dipungkiri bagi kalangan tertentu popularitas yang tinggi
bisa mendatangkan keuntungan finansial. Bagi saya kalau memang ada figur yang punya moralitas dan kemampuan yang baik
tidak ada salahnya "diadu" dengan sang petahana untuk mencari yang
terbaik atau disandingkan saja sebagai pasangan agar bisa saling melengkapi. Dari pantauan saya beberapa figur yang telah
menyatakan niatnya untuk maju sebagai balon gubernur DKI yaitu H. Lulung dari
DPRD DKI, Pak yusril (politisi PBB dan mantan menkumham), pak adyaksa dault dan
roy suryo (mantan menpora), sandiaga uno (pengusaha), dan ahmad dani
(musisi/artis).
Mundurnya Jagoan
Yang Digadang-Gadang
Sebelum
kemunculan para calon penantang diatas sebenarnya telah mengemuka beberapa nama
yang diprediksi dapat menjadi pesaing kuat sang petahana (Pak Ahok), mereka
adalah pak ridwan kamil (walikota bandung), bu risma (walikota surabaya) dan
pak ganjar (gubernur jateng). Namun ketiganya secara kompak menyatakan tidak
mau dicalonkan, mungkin mereka masih ingin fokus di daerahnya masing-masing. Bagi saya fenomena ini sangat melegakan karena mereka
punya kinerja yang baik dan masih sangat dibutuhkan oleh daerahnya, demikian
juga sang petahana juga punya kinerja yang baik sehingga tak bijak atau bahkan
rugi rasanya bila harus mengadu mereka dan membuat salah satu dari mereka kalah
dan salah satu daerah kehilangan mereka.
Balon "Bergerak"
Lebih Awal
Manuver para
balon gubernur DKI yang terkesan "mencuri start" bisa jadi merupakan
bentuk keseriusan para
"penantang" untuk mengalahkan sang petahana sehingga segala persiapan
yang dianggap penting seperti memperkenalkan dan mendekatkan diri kepada warga
sudah dilakukan sedini mungkin. Para balon walaupun belum resmi diusung partai
tapi sudah mulai tampil di tv, blusukan serta sudah rame dibicarakan di medsos.
Manuver "mencuri start" ini bisa dilihat sebagai pertanda bahwa para balon
merasa harus mengejar popularitas mengingat sang petahana sudah terlanjur
sangat popular bukan saja di kalangan warga ibu kota tapi juga di mata
masyarakat luas. Cara blusukan yg pada era pilpres kemarin dicibir ternyata
sekarang malah banyak ditiru sebagai cara untuk membuka genderang perang pilkada. Bagi saya blusukan ini sangat bagus asal
benar-benar dilakukan untuk memahami persoalan riil di masyarakat dan bukan
sekedar untuk pencitraan atau mengumbar janji-janji palsu.
Para “Penantang” Mencoba Menggabungkan Kekuatan
Ada yang menarik
ketika beberapa balon gubernur DKI bertemu untuk menjajaki kemungkinan menggabungkan dukungan dan mengusung satu
calon untuk melawan sang petahana, hal ini menunjukkan bahwa para penantang
memang melihat sang petahana sebagai lawan yang berat sehingga dirasa perlu
menggabungkan kekuatan supaya peluang untuk memenangkan persaingan menjadi
lebih besar. Disisi lain hal ini juga bisa menjadi semacam perang urat dengan
memberikan kesan bahwa para penantang tersebut kompak untuk bekerjasama
menghadapi "pertarungan" sehingga dapat memberikan tekanan psikologis
kepada sang petahana. Koalisi antar
balon akan sangat bagus jika benar-benar ada kesamaan
tujuan untuk kepentingan rakyat bukan sekedar koalisi transaksional sesaat
untuk kepentingan kelompok.
Wacana
Deparpolisasi
Satu lagi yang
unik dari pilkada DKI kali ini adalah munculnya wacana deparpolisasi atau
bahasa sederhananya menghilangkan peran partai sebagai pengusung balon. Wacana
ini mengemuka ketika sang petahana memutuskan untuk menggunakan jalur
independen dalam pilkada tahun depan. Motor penggerak jalur independen adalah
para relawan yang sepertinya kurang begitu percaya dengan kemampuan partai
untuk menghasilkan calon pemimpin berkualitas. Saat ini jalur independen
merupakan jalur alternatif bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri, bila
jalur alternatif ini di masa depan menjadi semakin banyak maka bisa jadi akan
menjadi jalur utama sehingga parpol yang justru akan menjadi jalur alternatif. Kepercayaan masyarakat
kepada balon dari jalur independen merupakan peringatan bagi parpol untuk
mengevaluasi kembali kredibilitasnya di mata masyarakat. Di sisi lain
keberanian sang petahana untuk memilih jalur independen yang tentu saja penuh
dengan resiko politik patut diacungi jempol, bagaimanapun mengambil resiko
kehilangan dukungan parpol demi menjaga kepercayaan para relawan adalah sesuatu
yang pantas dihargai.
Upaya “Menghambat” Laju Balon Independen
Adanya usulan
merevisi undang-undang dengan substansi revisi memperberat syarat untuk maju
sebagai calon independen dicurigai sebagai upaya untuk menghambat laju balon
independen. Fenomena
ini mungkin merupakan respon balik terhadap wacana deparpolisasi. Menurut saya tidak seharusnya parpol dibenturkan dengan
jalur independen, saya pikir keduanya bisa saling melengkapi, keduanya harusnya
bersaing sehat untuk meraih kepercayaan rakyat, biar rakyat punya banyak
pilihan untuk menyalurkan aspirasinya.
“Serangan” Pada Sang Petahana
Walaupun belum
ada calon resmi tapi para penantang sudah mulai menyerang sang petahana dengan
melakukan koreksi terhadap kinerja sang petahana selama ini dan mengungkapkan
kekurangan-kekurangan sang petahana untuk memberikan justifikasi betapa
pentingnya memberikan sosok gubernur baru untuk warga ibu kota. Saya kira hal ini sah-sah
saja asal disertai dengan bukti-bukti yang kuat, namun bila serangan-serangan
tersebut tidak disertai dengan
bukti-bukti yang kuat (hanya kampanye hitam) maka akan menjadi
boomerang bagi para penantang tersebut. Menurut saya akan lebih baik kalau para penantang tersebut dapat menunjukkan
prestasi-prestasinya di masa lalu dan solusi-solusi yang kreatif dan inovatif
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan jakarta saat ini dan dimasa mendatang,
kalau hanya sekedar “mencari-cari” kesalahan tanpa
bukti dan solusi saya pikir itu bukan sesuatu yang hebat dan pantas untuk
dibanggakan.
Munculnya Isu
Sara
Tak bisa
dipungkiri status sang petahana sebagai non muslim yang menjadi gubernur di daerah muslim mayoritas telah
menimbulkan kontroversi di beberapa kalangan. Bahkan ada beberapa kalangan yang
secara terang-terangan telah menolak kehadiran seorang pemimpin non muslim di
tengah-tengah muslim mayoritas. Isu ini sudah mulai muncul dan berusaha menggiring opini publik untuk
tidak memilih pemimpin non muslim pada pilkada DKI nanti. Namun tak semua
muslim terpengaruh dengan isu ini, ada juga yang beranggapan bahwa di negara
yang berbhineka tunggal ika ini sangat penting untuk lebih mengedepankan
integritas dan kemampuan pemimpin daripada agama yang dianutnya.
Perbedaan pendapat di kalangan muslim mengenai agama seorang pemimpin bukan
hanya terjadi di kalangan warga biasa namun juga terjadi di kalangan ulama,
ustadz dan bahkan ahli tafsir. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya penafsiran
dan pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang
bagaimana memilih seorang pemimpin. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran
antara M. Quraish Shihab dengan Sayyid Quthb yang dapat dilihat di http://digilib.uin-suka.ac.id/17276/.
Namun demikian terlepas dari perbedaan tersebut, sebagai seorang muslim
saya berpendapat alangkah baiknya bila kita yang mayoritas muslim ini juga
memiliki seorang pemimpin muslim tapi tentunya tidak asal muslim, islam-nya
bukan sekedar “islam KTP”, muslim yang tentunya punya akhlak yang baik, dan
punya kemampuan yang cukup. Dalam Al-Quran dan Hadits disebutkan ada empat kriteria yang harus
dimiliki oleh seseorang pemimpin yaitu : (1). Shidq, artinya kebenaran dan kesungguhan
dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya, lawannya
adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara
dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari
orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah SWT, lawannya adalah
khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan
kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul, lawannya adalah
bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas
segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi), lawannya
adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan). Lebih lanjut
mengenai petunjuk al-quran dalam memilih pemimpin dapat dibaca di http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=472.
Bagi saya memilih pemimpin bukan hanya asal muslim tapi pemimpin harus
memiliki setidaknya empat kriteria diatas, perlu kecermatan dan kejelian dalam
mencari sosok pemimpin, cermat melihat rekam jejaknya, jeli melihat prestasi
atau kinerjanya, dan paham terhadap solusi-solusi yang ditawarkan, dari situlah
ahlak dan kemampuan calon pemimpin dapat kita ketahui. Adalah sebuah tantangan bagi umat islam, ulama, parpol islam, uztad,
ormas islam dan berbagai elemen islam lainnya untuk "menghasilkan"
pemimpin muslim yang baik dan dapat dipercaya (kemampuan dan akhlaknya) bukan
sekedar ber-KTP islam. Bila masyarakat yang mayoritas muslim ini tidak
melihat adanya calon pemimpin muslim yang baik dan dapat dipercaya maka bisa
jadi untuk sementara umat islam akan mempercayakan kepada non muslim yang baik
dan dapat dipercaya untuk bekerja "melayani" masyarakat.
Akhirnya....
Pilkada DKI memang masih tahun depan tapi saya pikir dari sekarang warga ibu
kota sudah harus bersiap "mencari" calon pemimpin baru yang baik dan
cocok untuk jakarta atau mempertahankan pak ahok dengan memberikan masukan dan
koreksi agar ke depan kinerjanya lebih baik lagi, warga di luar jakarta juga
bisa memberikan masukan kepada warga jakarta karena jakarta sebagai ibukota
negara adalah milik kita bersama. Yang
tak kalah penting juga adalah perlunya mengelola perbedaan pendapat dalam
memilih pemimpin agar tidak mengarah pada perpecahan, saling menghargai
pendapat dan pilihan yang berbeda adalah mutlak diperlukan, cara-cara bersaing
yang sehat dan sportif harus dikedepankan demi lahirnya seorang pemimpin yang
baik yang disebut sebagai GUBERNUR DKI. Demikian sedikit pandangan saya
mengenai pilkada DKI, monggo dikoreksi apabila ada yang salah dan silahkan
ditambahkan apabila ada yang kurang atau bila ada perbedaan pendapat mari kita
berdiskusi dengan sehat dalam semangat saling menghormati untuk mengambil
manfaat sebanyak-banyaknya bagi kepentingan bersama.